DPD MATARAM dan DPC SELAPARANG siap memeriahkan RAPIMNAS PARTAI NASDEM

DPC SELAPARANG PARTAI NASDEM

Kamis, 24 November 2011

AKANKAH WIBAWA INDONESIA HILANG DI MATA DUNIA


ini terbukti ketika masyarakat ramai membicarakan tentang komodo
KATA yang ramai dibincangkan awal pekan ini adalah komodo.

Kali ini bukan soal ajakan untuk kita beramai-ramai memberi suara lewat SMS senilai Rp 1 demi komodo masuk daftar 7 keajaiban dunia, melainkan betapa kampanye tersebut pada akhirnya malah memberi ongkos konsekuensi yang mahal. Dan, kenyataan kalau lembaga New7Wonders yang menyelenggarakan pemilihan itu tak trafiliasi dengan badan dunia PBB yang mengurusi kebudayaan, UNESCO.

Terus terang, saya tak pernah menyisihkan pulsa telepon genggam saya untuk memberi suara pada komodo walau ajakan untuk itu begitu ramai.Di TV, di radio, bahkan di timeline Twitter saya banyak kawan bilang: vote komodo, vote Indonesia.

Anda pikir saya mungkin terlalu pelit hingga menyisihkan Rp 1 pun tak mau. Bukan itu alasannya saudara sekalian. Sejak awal, saya memang menganggap kampanye itu aneh. Caranya tidak masuk logika saya. Mengapa untuk mendapat pengakuan internasional harus memberi suara segala? Jika demikian, orang Cina dan India bisa menang mudah dan hasilnya semua 7 keajaiban dunia terkumpul di sana semua.

Sejatinya, buat saya, soal “vote komodo, vote Indonesia” adalah wujud nasionalisme frustasi kita.

Jika dirunut, saya coba mengingat-ingat sejak kapan sebagian besar dari kita, terutama kaum muda, mendadak jadi nasionalis. Rasanya, kesadaran begini belum berumur sampai 10 tahun. Mungkin benihnya lahir ketika era reformasi di mulai, tahun 1998.

Saat itu Orde Baru runtuh dan pemerintahan silih berganti. Dari Habibie ke Gus Dur ke Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dari empat presiden pasca Orde Baru Soeharto harus diakui tidak ada pemimpin yang kuat, yang mampu membuat rakyat takluk dan takut. Di satu sisi ini baik, karena artinya pemimpin takut pada rakyatnya. Tidak ada lagi masa pemimpin otoriter. Kita jadi negeri demokrasi sepenuhnya.

Namun, di sisi lain, pemimpin jadi tak punya wibawa di mata rakyatnya. Rakyat jadi kehilangan panutan, pengayom, maupun pedoman. Retorika dan jargon pemimpin tak laku di mata rakyatnya.

Di saat rakyat tak punya pegangan dinamika geopolitik kawasan menuntut reaksi. Kita melihat, misalnya, negeri jiran kita, Malaysia, mengkampanyekan kalau hal-hal yang selama ini kita anggap milik kita (reog, batik, dsbnya) sebagai warisan budaya mereka. Kemudian, di masa pasca reformasi pula, integrasi kita sebagai bangsa kita teruji: Timor Timur merdeka, dua pulau terluar kita akhirnya secara hukum jatuh ke pangkuan Malaysia.

Saat negeri dicabik-cabik, pemerintah tak bisa berbuat banyak kecuali pada akhirnya mengaku kalah. Rakyat di bawah tentu tak bisa menerima hal ini. Dari sini rasa nasionalisme rakyat bangkit.

Tanpa disuruh-suruh, rasa kebangsaan rakyat muncul. Pertama beberapa tahun silam, muncul gerakan untuk memakai batik ke tempat kerja. Gerakan sosial ini tidak datang dari atas (baca: pemerintah) melainkan horisontal dari rakyat pada rakyat, lewat jejaring sosial Facebook. Dengan bangga, kita mengunggah foto saat berbatik ke kantor. Sekarang, berbatik ke kantor jadi hal biasa.

Dalam wujud lain, kini makin banyak kita melihat orang bersliweran pakai kaos bergambar garuda atau bertuliskan “I Love RI” dengan bentuk huruf persis “I Love NY”. Kini, menjadi nasionalis adalah keren.

Gerakan “Indonesia keren” ini kemudian mendapat ikonnya pada sosok Pandji Pragiwaksono, Daniel Mananta, Saykoji, dan beberapa orang lain. Di Twitter berkali-kali muncul hashtag yang menunjukkan rasa nasionalisme seperti yang tempo hari muncul “#Indonesiagakmaukalah”.

***

Apa artinya rasa nasionalisme itu?

Ditilik dari kelahirannya, rasa nasionalisme itu bangkit dari rasa frustasi kita.

Dulu, saat belum merdeka, para pejuang nasionalis mencari ajakan apa yang bisa mempersatukan beragam suku bangsa dan bahasa yang sama-sama dijajah Belanda selama ratusan tahun. Kesadaran nasional itu pertama bangkit pada 1908 yang mencita-citakan satu negara merdeka.

Kemudian, di tahun 1928, para pejuang nasionalis bertekad atau bersumpah negara merdeka yang dicita-citakan itu harus bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu. Pada 1945 cita-cita itu tercapai.

Di masa pemerintahan presiden pertama kita, Soekarno, rasa nasionalisme dbangkitkan olehnya. Soekarno dikenal sebagai orator ulung yang bisa menggiring massa. Cinta tanah air dibangkitkan Soekano lewat orasinya. Kita tentu mengenang kalimat-kalimat ini: “Go to hell with your aid”; “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika”; “Beri aku 10 pemuda maka akan ku guncang dunia.”

Menginjak masa Orde Baru, rasa cinta tanah air dilembagakan lewat serangkaian penataran. Pelajar hingga mahasiswa diwajibkan mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Kita diwajibkan menghapal butir-butir pengamalan sila Pancasila.

Baik masa Soekarno maupun Soeharto rasa nasionalisme dibangkitkan dari atas, dari pemimpin. Ini bedanya dengan masa reformasi kini. Pemimpin yang tidak kuat dan tak punya wibawa di mata rakyatnya, setiap omongannya pasti tak didengar. Apalagi bila kemudian pemerintahan yang dijalankannya kalah oleh bangsa lain.

Maka dari itu rasa nasionalisme yang bangkit dari bawah, terutama dari kalangan kelas menengah yng sekarang jadi tren, adalah nasionalisme frustasi. Kita frustasi pada nagara ini yang salah urus, tapi kita tak bisa melakukan apapun selain tetap merasa bangga pada bangsa ini.

Kita mencintai Indonesia sebagai bangsa karena ini satu-satunya bangsa yang kita punya. Kita ingin bangsa ini menjadi bangsa besar meskipun pemerintahnya brengsek dan korup.

Sampai-sampai ya itu tadi, akhirnya kita sedikit keblinger ngotot pulau Komodo jadi salah satu keajaiban dunia, tak peduli lembaga penyelenggara yang mengadakannya patut diragukan.

Vote Komodo, vote Indonesia? Masih banyak bisa dilakukan selain sekadar SMS, bung.

O ya, buat pemerintah, apa tidak malu justru rakyatnya sendiri sekarang lebih nasionalis?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar